Opera

Ai.
3 min readFeb 9, 2022

--

Hari-hari di rumah rasanya adalah babak-babak opera yang tercetak sebagai naskah di atas kertas; karena aku selalu tahu harus apa dan akan mengalami apa. Yang ini namanya rutinitas, tapi untuk sekali setelah entah kapan, aku tidak protes dan tidak juga bosan. Kalau ini betulan opera aku mau jadi penarinya terus-terusan.

Aku bangun lebih dulu setiap pagi. Laki-laki yang harusnya berangkat kerja sebelum matahari naik tinggi itu akan memilih mengambil waktu ekstra di atas kasur untuk menyelesaikan mimpi (itu alasan yang dia sebut beberapa minggu lalu, padahal mimpi cuma akan selesai kalau kau mau bangun, kan.) Sebelum ruang tengah banjir sinar matahari, sarapan untuknya dan untukku ada di atas meja, diapit alat-alat makan beserta kopi — untuk dia — dan susu — untukku. Nanti ucapan terima kasihnya sampai dalam satu ulas senyum lebar dan sepasang mata yang tiba-tiba jadi bulan sabit. Kalau aku beruntung mungkin dia akan mengambil satu langkah maju dan memberi pelukan juga. Di beberapa pagi yang lain terkadang dia buru-buru sarapan dan menghabiskan kopinya, berderap untuk mengusap puncak kepalaku dan melesat keluar pintu rumah setelah meninggalkan satu ‘aku ada meeting pagi-pagi!’ diikuti ‘berangkat dulu, ya! Nanti aku kabarin!’. Hangatnya akan tetap tinggal di ruangan sampai terdengar mesin mobilnya menderu keluar dari halaman rumah.

Siang harinya ponselku akan berisik di atas meja. Dentingnya paling tidak muncul lima kali; satu ucapan ‘halo!’, satu pertanyaan ‘lagi apa?’, satu permintaan ‘jangan lupa makan siang!’, dan seperangkat potret dirinya dan makan siangnya hari itu. Kalau jatuh cinta bentuknya adalah perasaan senang karena dia juga senang, itu aku. Aku setiap hari. Berulang-ulang seperti tidak mau tahu dunia dan hal lain. Di hari-hari yang bersahabat dan tidak buru-buru, dia akan menyisihkan waktu untuk menelepon. Suaranya di ujung sambungan sana selalu terdengar seperti anak-anak yang baru dihadiahi balon, yang baru meniup lilin di atas kue ulang tahun. Pada detik-detik yang ada aku sibuk bertanya-tanya seberapa besar porsi bahagia yang dia jaga di dalam dirinya. (Dia pernah menjawab katanya besar, banyak sekali. Di hari-hari buruk aku akan kasih sebagian buat kamu.)

Waktu favoritku dalam dua puluh empat jam yang diberikan bumi untuk satu hari adalah ketika matahari mulai merendah. Biasanya langit masih oranye ketika dia pulang. Aku suka melihat figur tubuhnya terlihat seperti bayangan berjalan dikepung dunia yang mulai beranjak malam. Ketika dia masuk ke dalam rumah, kupikir matahari itu abadi. Dia akan melepas sepatunya di dekat pintu, mencuci tangan, lalu menjadikan aku objek pertama untuk direngkuh sampai kita sama-sama butuh udara. Kami akan duduk berhadapan dan makan malam, aku akan diam mendengarkan apapun yang mau diceritakannya hari itu, lalu beberapa menit setelahnya kami bertukar peran. Ada kasih sayang yang kami bagi lewat air putih yang kutuangkan ke dalam gelasnya dari teko dan piring-piring kotor yang dia bawa ke wastafel. Ketika malam mulai sungguhan tiba, di situ kami rehat dan memaafkan. Itu, juga rutinitas.

Ini opera yang mau kutarikan setiap hari, semoga dia pun tak enggan untuk terus jadi lakonnya.

--

--

Ai.
Ai.

Written by Ai.

i never knew you before / i’ve loved you since forever

No responses yet