Merah darah, putih tulang
Saya belum lahir waktu Bapak berangkat untuk belajar dan kemudian menerima kabar kalau tak boleh kembali. Kewarganegaraan pada akhirnya memang hanya secarik kertas, ya, Pak? Biar kata tanah kampung halaman lebih dulu mengenal tetes peluh perjuangan yang kelak Bapak langgengkan sampai di negeri orang, meski makna rumah untuk Bapak hanya ada satu dan tidak ke mana-mana. Merah darah, putih tulang, tidak dibukakan pintu untuk pulang. Kisah sepi dan sendiri Bapak di pengasingan baru saya dengar ketika saya hampir dewasa. Saya ingin mampir: menjabat tangan Bapak, duduk dan minum teh di sisi jendela, lalu menilik lembar-lembar kenyataan yang begitu ingin dibakar tirani.
Kita bukan anak dari kekuasaan yang sama, Pak, tapi ketakutan itu seolah diwariskan kepada saya: dia ada, mengalir di darah saya pula, dan tiba-tiba ikut menggaung bersamaan dengan denyut nadi saya. Saya dan mimpi-mimpi saya, negara ini tidak peduli, seperti negara dahulu kepada Bapak dan kawan-kawan pula. Rupanya rumah bisa mengusir, ya, Pak? Rupanya pintu rumah juga bisa terkunci. Kini pulang tak tahu ke mana. Jakarta bukan Jakarta lagi, Indonesia bukan Indonesia lagi — tiba-tiba kalian tidak saling kenal.
Bapak pasti marah sekali kalau dengar saya bilang bahwa hari ini beberapa orang masih merayakan apa yang Bapak kutuk seumur hidup. Rezim yang katanya mencapai masa emas perekonomian, yang katanya berhasil menyajikan sejahtera di piring-piring warga tapi menukarnya dengan ribuan nyawa itu, Pak, sampai saya duduk di bangku perguruan tinggi masih sering dielu-elukan. Saya ingin marah di hadapan mereka: yang mereka sebut-sebut emas dan sejahtera itu cuma ilusi kalau masih ada orang yang ingin pulang pun tidak direstui. Siapa yang bisa terima kalau hak-haknya dirampas karena ia berpikir dan melawan? Siapa yang akan sanggup hidup dalam teror yang begitu dekat mengejar sampai entah kapan?
Kini mereka dililit utang permohonan maaf yang sudah jatuh tempo berpuluh tahun lalu. Sampai negara ini nanti luluh lantak entah karena kezaliman nomor berapa, tolong tetap berdiri tegak, Pak. Maaf itu, kalaupun akan pernah datang, tidak perlu Bapak terima kalau mereka tidak bisa mengembalikan tahun-tahun damai yang direnggut dari Bapak begitu saja. Tuntut mereka untuk menukar pemikiran dan perlawanan yang telah mereka injak-injak dengan mengirimkan setiap inci rindu dan sayang pada keluarga yang tak pernah sampai dan memandikan lagi mereka yang pergi sebelum Bapak kembali.
Pulanglah pada tanah yang lebih baik, Pak, yang akan menghargai Bapak lebih dari secarik kertas. Berkemas lagi jiwa dan hatimu, teguh tangguh sampai mereka bersimpuh.